Kata radikal yang dimulai dengan nama agama, misalnya Islam radikal, lazim digunakan untuk mengacu kepada kelompok beragama dengan ekspresi tertentu.
Menurut Kepala Biro Hubungan Masyarakat, Data, dan Informasi Sekretariat Jenderal Kementerian Agama RI Mastuki Hs, istilah radikal berasal dari kata raddict yang berarti mendalam atau mengakar.
Pada makna tersebut, menurut dia, memiliki citra positif. Namun, ketika kata itu dikaitkan dengan agama, memiliki makna yang positif dan negatif.
Beragama secara raddict atau radikal yang berarti mengakar, mendalam, menjiwai, lanjutnya, itu sangat baik dalam beragama. Bahkan sangat dianjurkan.
“Orang yang radikal dalam menghafal hadits, memahami agama secara mendalam itu bagus sekali,” katanya pada Pelatihan In-dept Reporting Media Online yang digelar Bimas Islam, Jakarta Pusat, Kamis (15/3).
Sikap radikal dalam beragama seperti itu tak boleh dicegah oleh siapa pun karena penganutnya menjalankan agama berdasarkan keyakinan yang benar, haknya dijamin dalam konstitusi.
Di sisi lain, kata radikal itu juga memilik makna negatif. Misalnya Islam radikal yang mengacu kepada kelompok yang mengatasnamakan agama untuk melakukan teror.
“Islam radikal berpandangan agama secara ekstrem, fanatik, fundamental, dan revolusioner,” katanya.
Menurut dia, Islam radikal seperti masih tak masalah jika sekadar cara pandang dan penganutnya terbuka ruang dialog dengan pihak lain. Namun, ketika cara pandang tersebut diwujudkan dalam tindak kekerasan, pemaksaan kehendak, melakukan teror, itu sudah membahayakan.
“Itu harus dicegah!” katanya.
Dalam konteks kemajemukan Indonesia cara Islam radikal dalam pengertian kedua sangat bermasalah dan membahayakan. (Abdullah Alawi)
No comments:
Post a Comment